Tafsir Surat Al-Fatihah (Bag 2)

Tafsir Surat Al-Fatihah (bag 2)


Firman Allah:

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ


“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”


Dalam bahasa Arab, frasa "بِسْمِ" (Dengan menyebut) pada awal ayat ini memiliki hubungan dengan kata kerja yang tersembunyi setelahnya, yang sesuai dengan jenis aktivitas yang sedang dilakukan. Misalnya, ketika Anda membaca Basmalah sebelum makan, takdir kalimatnya adalah: “Dengan menyebut nama Allah, aku makan.”


Dalam kaidah bahasa Arab, kita menyatakan bahwa hubungan "jar majrur" harus ada kaitannya dengan kata yang tersembunyi setelahnya, karena keduanya adalah "ma’mul." Dan setiap "ma’mul" harus memiliki "‘amil."

Ada dua fungsi mengapa kita meletakkan kata kerja yang tersembunyi di belakang:


  • Pertama: Tabarruk (mengharap berkah) dengan mendahulukan asma Allah Azza wa Jalla.


  • Kedua: Pembatasan maksud, karena meletakkan ‘amil di belakang berfungsi membatasi makna. Seolah Anda berkata: "Aku tidak makan dengan menyebut nama siapapun untuk mengharap berkah dengannya dan untuk meminta pertolongan darinya selain nama Allah Azza wa Jalla."


Kata tersembunyi tersebut diambil dari kata kerja 'amal (dalam istilah nahwu) yang pada dasarnya adalah kata kerja. Ahli nahwu tentu sudah mengetahui masalah ini. Oleh karena itu, kata benda tidak dapat menjadi ‘ami’l kecuali jika telah memenuhi syarat-syarat tertentu.


Lalu mengapa kita katakan: "Kata kerja setelahnya disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang sedang dikerjakan," karena itu lebih tepat sesuai dengan yang dimaksud. Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ


"Barangsiapa yang belum menyembelih, maka jika menyembelih hendaklah ia menyembelih dengan menyebut nama Allah." (Hadits riwayat Al-Bukhari, dalam kitab Al-Idain, bab : Ucapan Imam dan makmum ketika khutbah ‘ied, no. (985). Diriwayatkan pula oleh Muslim dalam kitab Al-Adhahi, bab : Waktu Udhiyah no. (1), (1960))


Atau: "Hendaklah ia menyembelih atas nama Allah." (Hadits riwayat Al-Bukhari dalam kitab Adz-Dzabaih wa Ash-Shaid, bab : Sabda Nabi, “Sembelihlah dengan menyebut asma Allah”. no. (5500). Diriwayatkan pula oleh Muslim dalam kitab Al-Adhahi, bab : waktu Udhhiyah, no. (2). (1960))


Kata kerja, yakni 'menyembelih', disebutkan secara khusus disitu.


Penjelasan tentang lafzhul Jalalah (Allah), Ar-Rahmaan, dan Ar-Rahiim.


Lafzhul Jalalah (Allah)


Lafzhul Jalalah (Allah) adalah nama bagi Allah Rabbul Alamin, dan selain Allah, tidak ada yang boleh diberi nama yang sama dengan-Nya. Nama 'Allah' adalah asal, sementara nama-nama Allah lainnya adalah cabang dari nama-Nya.


Ar-Rahmaan

Ar-Rahmaan berarti Allah yang memiliki kasih sayang yang sangat luas. Oleh karena itu, disebutkan dalam bentuk wazan fa'laan yang menunjukkan keluasannya.


Ar-Rahiim

Ar-Rahiim berarti Allah yang mencurahkan kasih sayang kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Oleh karena itu, disebutkan dalam bentuk wazan fa'iil yang menunjukkan telah terlaksananya curahan kasih sayang tersebut. Dalam Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim, terdapat dua penunjukan kasih sayang, yaitu sebagai sifat Allah (seperti yang terkandung dalam nama Ar-Rahmaan) dan sebagai perbuatan Allah yang mencurahkan kasih sayang kepada orang-orang yang disayangi-Nya (seperti yang terkandung dalam nama Ar-Rahiim). Dengan demikian, Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim adalah dua Asma’ Allah yang mencerminkan Dzat-Nya, sifat kasih sayang, dan pengaruhnya, yaitu hikmah yang merupakan konsekuensi dari sifat ini.


Kasih sayang yang Allah tetapkan bagi diri-Nya adalah hakiki, didasarkan pada dalil wahyu dan akal sehat. Dalil wahyu termasuk dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah yang menetapkan sifat Ar-Rahmah (kasih sayang) bagi Allah. Adapun dalil akal sehat, semua nikmat yang kita terima dan musibah yang terhindar dari kita adalah bukti dari curahan kasih sayang Allah kepada kita.


Sebagian orang menyangkal sifat kasih sayang Allah yang hakiki ini. Mereka mengartikan kasih sayang di sini sebagai pemberian nikmat atau kehendak untuk memberi nikmat. Menurut pemikiran mereka, Allah tidak mungkin memiliki sifat kasih sayang. Mereka berpendapat bahwa sifat kasih sayang menunjukkan kecenderungan, kelemahan, ketergantungan, dan kelunakan, yang semuanya dianggap tidak pantas untuk Allah.


Bantahan terhadap mereka dari dua sisi.


  • Pertama : Kasih sayang itu tidak selalu disertai ketundukan, rasa iba dan kelemahan. Kita lihat raja-raja yang kuat, mereka memiliki kasih sayang tanpa disertai hal itu semua.


  • Kedua : Kalaupun hal-hal tersebut merupakan konsekuensi sifat kasih sayang, maka hanya berlaku pada sifat kasih sayang yang dimiliki makhluk. Adapun sifat kasih sayang yang dimiliki Al-Khaliq Subhanahu wa Ta’ala adalah yang sesuai dengan kemahaagungan, kemahabesaran dan kekuasanNya. Sifat yang tidak akan berkonsekuensi negative dan cela sama sekali.


Kemudian kita katakan kepada mereka : Sesungguhnya akal sehat telah menunjukkan adanya sifat kasih sayang yang hakiki bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pemandangan yang sering kita saksikan pada makhluk hidup, berupa kasih sayang di antara mereka, jelas menunjukkan adanya kasih sayang Allah. Karena kasih sayang merupakan sifat yang sempurna. Dan Allah lebih berhak memiliki sifat yang sempurna. Kemudian sering juga kita saksikan kasih sayang Allah secara khusus, misalnya turunnya hujan, berakhirnya masa paceklik dan lain sebagainya yang menunjukkan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Baca Juga 

Lucunya, orang-orang yang mengingkari sifat kasih sayang Allah yang hakiki dengan alasan tidak dapat diterima akal atau mustahil menurut akal, justru menetapkan sifat iradah (berkehendak) yang hakiki dengan argumentasi akal yang lebih samar daripada argumentasi akal dalam menetapkan sifat kasih sayang bagi Allah. Mereka berkata : “Keistimewaan yang diberikan kepada sebagian makhluk yang membedakannya dengan yang lain menurut akal menunjukkan sifat iradah”. Tidak syak lagi hal itu benar. Akan tetapi hal tersebut lebih samar disbanding dengan tanda-tanda adanya kasih sayang Allah. Karena hal tersebut hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang pintar. Adapun tanda-tanda kasih sayang Allah dapat diketahui oleh semua orang, tidak terkecuali orang awam. Jika anda bertanya kepada seorang awam tentang hujan yang turun tadi malam : “Berkat siapakah turunnya hujan tadi malam ?” Ia pasti menjawab : “berkat karunia Allah dan rahmatNya”


Apakah Basmalah Termasuk Ayat dalam Surat Al-Fatihah?


Terdapat perselisihan di kalangan para ulama mengenai status Basmalah dalam Al-Qur'an. Namun, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa Basmalah adalah ayat tersendiri dalam Al-Qur'an dan BUKAN bagian dari Surah Al-Fatihah atau Surah lainnya.


Dalam masalah ini, para ulama memiliki pandangan beragam. Ada yang berpendapat bahwa Basmalah adalah bagian dari Surah Al-Fatihah dan harus dibaca dengan keras (jahr) dalam shalat. Mereka berpendapat bahwa shalat tidak sah tanpa membaca Basmalah karena masih dianggap sebagai bagian dari Surah Al-Fatihah.


Sementara sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa Basmalah tidak termasuk dalam Surah Al-Fatihah, melainkan merupakan ayat yang berdiri sendiri dalam Al-Qur'an.


Pendapat yang benar adalah yang mengatakan bahwa Basmalah adalah ayat yang berdiri sendiri dalam Al-Qur'an. Pendapat ini didasarkan pada nash (dalil) dan urutan ayat dalam Surah ini.


Dasar pendapat ini terdapat dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, di mana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Aku membagi shalat (yaitu Surah Al-Fatihah) menjadi dua bagian, separuh untuk-Ku dan separuh untuk hamba-Ku. Apabila ia membaca: 'Segala puji bagi Allah', maka Allah menjawab: 'Hamba-Ku telah memuji-Ku'. Apabila ia membaca: 'Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang', maka Allah menjawab: 'Hamba-Ku telah menyanjung-Ku'. Apabila ia membaca: 'Penguasa hari pembalasan', maka Allah menjawab: 'Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku'. Apabila ia membaca: 'Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan', maka Allah menjawab: 'Ini separuh untuk-Ku dan separuh untuk hamba-Ku'. Apabila ia membaca: 'Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus', maka Allah menjawab: 'Ini untuk hamba-Ku, akan Aku kabulkan apa yang ia minta'." (HR Muslim: 38 & 395).


Ini semacam penegasan bahwa basmalah BUKAN termasuk dalam surat Al-Fatihah. Dalam kitab Ash-Shahih diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyalahu ‘anhu, ia berkata : “Aku pernah shalat malam bermakmum di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu ‘anhum. Mereka semua membuka shalat dengan membaca : “Alhamdulillaahi Rabbil ‘Aalamin” dan tidak membaca ; ‘Bismillaahirrahmaanirrahiim” di awal bacaan maupun di akhirnya.


Maksudnya mereka tidak mengeraskan bacaannya. Membedakan antara basmalah dengan hamdalah dalam hal dikeraskan dan tidaknya menunjukkan bahwa basmalah tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah.


[Disalin dari kitab Tafsir Juz ‘Amma, edisi Indonesia Tafsir Juz ‘Amma, penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari, penerbit At-Tibyan – Solo]


Syaikh Shalih bin Abdillah bin Fauzan Al-Fauzan juga menyatakan :

القول الراجح أن البسملة أية من القرآن مستقلة ليست من الفاتحة وغيرها وإنما يؤتى بها في فواتح الصور إلا ما جاءت في أثناء الصورة مثل إنه من سليمان وإنه باسم الله الرحمن الرحيم وإلا فهي في فواتح الصورة ما عدا صورة البراءة

“Pendapat yang rajih bahwa basmallah merupakan satu ayat dari Al-Qur’an yang mandiri dan bukan merupakan bagian dari Al-Fatihah atau surat lainnya. Dan ia dibaca di awal-awal surat kecuali yang datang di pertengahan surat seperti firman Allah ta’ala ; ‘Sesungguhnya ia dari Sulaiman dan sesungguhnya ia dimulai dengan Bismillahirrahmanirrahim’. Jika tidak maka ia dibaca di awal surat kecuali surat surat Al-Bara’ah/At-Taubah”. [ Sumber Fatwa : https://www.youtube.com/watch?v=M6N1ruE-GTA ]

Sumber 

Artikel 





Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Become our Fan