Biografi Atha' bin Abi Rabah. Sumber Gambar: kisahmuslim.com |
Anugerah terindah yang tak ternilai adalah ilmu dan amal saleh, yang tidak dapat disaingi oleh kekayaan duniawi seberapa pun besarnya. Allah memberikan nikmat besar ini kepada siapa pun yang Dia pilih dari hamba-hamba-Nya. Melalui ilmu dan amal saleh, Allah memuliakan hamba-Nya, tanpa memandang status mereka dalam pandangan manusia. Ini adalah janji Allah seperti yang tercantum dalam ayat-Nya yang berbunyi:
"Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat." [Q.S. Al Mujadalah: 11]
Ketika Allah berkehendak untuk memilih dan memuliakan hamba-Nya dengan ilmu, tidak ada yang dapat menghalanginya. Contohnya adalah seorang mantan budak yang akhirnya menjadi ulama besar pada masa generasi tabiin, Atha' bin Abi Rabah Aslam Al Quraisyi Al Makki رحمه الله تعالى , yang lahir pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan رضي الله تعالى عنه
Adapun nama asli ayahnya yang dikenal dengan Abi Rabah adalah Aslam, yang sebelumnya merupakan budak milik Habibah bintu Maisarah bin Abi Khutsaim. Atha' pada awalnya adalah seorang budak yang berkulit hitam, berhidung pesek, dan lumpuh tangannya. Statusnya saat masih kecil adalah sebagai hamba sahaya milik seorang wanita di kota Mekah.
Namun, bakat besar dan semangat tinggi dalam menuntut ilmu agama yang dimiliki oleh Atha' telah terlihat sejak ia masih muda. Kesibukannya sebagai seorang budak tidak menghalanginya untuk meluangkan waktu untuk belajar ilmu agama. Hal ini membuat majikannya akhirnya memutuskan untuk membebaskan Atha' karena melihat semangat dan dedikasinya dalam beragama.
Majikannya menaruh harapan besar pada Atha' agar kelak menjadi seseorang yang bermanfaat bagi Islam dan umat Muslim. Sejak saat itu, Atha' memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menimba ilmu agama setelah terlepas dari belenggu perbudakan yang sebelumnya membatasi gerakannya.
Dengan rasa syukur yang tulus, Atha' memanfaatkan peluang ini sebaik mungkin untuk memperoleh ilmu dari para sahabat yang mulia, seperti Aisyah, Ummu Salamah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Hakim bin Hizam, Rafi' bin Khadij, Zaid bin Arqam, Shafwan bin Umayyah, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Amr, Ibnu Umar, Jabir, Zaid bin Arqam, dan banyak sahabat dan ulama tabiin lainnya. Atha' pernah menyatakan, "Aku pernah berjumpa dengan dua ratus sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam."
Atha' dikenal sebagai sosok yang sangat sabar selama perjalanannya dalam meriwayatkan hadis dan menuntut ilmu. Ia adalah contoh nyata kesungguhan dan kesabaran dalam menghadapi segala rintangan yang muncul saat menimba ilmu agama. Atha' bahkan tidak terlalu mempedulikan tempat tinggalnya selama mengejar ilmu. Ibnu Juraij pernah mengisahkan, "Masjid adalah tempat tidur Atha' selama 20 tahun, saat ia berjuang keras untuk mendalami ilmu agama, dan ia adalah orang yang paling rajin dalam melaksanakan salat."
Setelah bertahun-tahun berjuang dan memberikan segala potensi yang dimilikinya, Atha' menjadi seorang imam dan mufti di tanah suci, Mekah. Ilmu dan kealiman yang dimilikinya diakui dan dihormati oleh ulama-ulama tabiin bahkan sahabat Nabi. Ketika sebagian penduduk Mekah datang menemui Ibnu Abbas untuk meminta fatwa dan nasihat agama, Ibnu Abbas, yang juga seorang sahabat Nabi, menunjuk kepada mereka bahwa Atha' bin Abi Rabah adalah sosok yang sangat kompeten dalam urusan agama dan mereka seharusnya bertanya kepadanya.
Kaum Muslim, terutama di Mekah, sangat menghargai Atha' sebagai seorang ulama dan mufti yang dapat memberikan pandangan dan fatwa terhadap berbagai masalah yang mereka hadapi. Banyak ulama yang datang mencari majelis Atha' untuk meriwayatkan hadis atau berkonsultasi tentang masalah agama. Di antara ulama tabiin yang pernah menjadi murid dan meriwayatkan hadis dari Atha' adalah Mujahid bin Jabr, Abu Ishaq As Sabi'i, Abu Az Zubair, Amr bin Dinar, Az Zuhri, Qatadah, Amr bin Syuaib, Malik bin Dinar, Al A'masy, Ayyub As Sikhtiyani, Manshur bin Al Mu'tamir, Yahya bin Abi Katsir, Abu Hanifah, Al Hakam bin Utaibah, dan banyak lagi.
Meskipun Atha' telah menjadi ulama besar dan mufti di tanah suci, kebesaran ini tidak membuatnya sombong atau lupa diri. Sebaliknya, semakin tinggi ilmu seseorang, semakin tawadhu ia menjadi. Ini adalah salah satu ciri khas ulama salaf, yang meskipun memiliki tingkat ilmu yang tinggi, tetap rendah hati dan penuh tawadhu.
Abdul Aziz bin Rufai' menceritakan bahwa suatu kali seseorang bertanya kepada Atha' tentang suatu masalah, dan Atha' menjawab, "Aku tidak mengetahui jawabannya." Kemudian seseorang mengatakan kepadanya, "Mengapa kamu tidak memberikan jawaban berdasarkan pendapatmu sendiri?" Atha' menjawab, "Sungguh, aku merasa malu kepada Allah untuk berfatwa dengan pendapatku sendiri dalam urusan agama di atas bumi ini."
Tentang sifat tawadhu Atha', Ibnu Abi Laila juga mengisahkan, "Aku pernah mendatangi Atha' dan dia bertanya kepadaku beberapa pertanyaan. Para sahabat Atha' heran mengapa dia bertanya kepada saya. Atha' menjawab, 'Apa yang membuat kalian merasa heran? Orang ini lebih berilmu dariku.'"
Atha' bin Abi Rabah juga dikenal sebagai sosok yang berani dalam menyuarakan kebenaran dan memberikan nasihat dengan tulus kepada para penguasa kaum Muslimin. Al Ashmai menceritakan bahwa suatu hari Atha' bin Abi Rabah masuk menemui Khalifah Abdul Malik, yang tengah dikelilingi oleh para pembesar kerajaan, ketika Abdul Malik sedang beribadah haji di Mekah.
Ketika Abdul Malik melihat kedatangan Atha', ia dengan hormat bangkit, memberi salam, dan menyambutnya dengan hangat. Atha' kemudian duduk di hadapan Khalifah dan Khalifah bertanya apa keperluannya. Atha' memberikan nasihat tulus kepada Khalifah, meminta agar Khalifah bertakwa kepada Allah dalam menjalankan kepemimpinannya, memperhatikan urusan kaum Muslimin, dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya. Atha' juga menekankan pentingnya mengurus urusan kaum Muslimin yang menjaga perbatasan serta memberi perhatian kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan Khalifah. Atha' memberikan nasihat yang tulus dan bijak kepada penguasa, tanpa rasa takut atau ragu untuk menyuarakan kebenaran.
Khalifah Abdul Malik merespons dengan baik terhadap nasihat Atha' dan berkata bahwa dia akan melaksanakan semua nasihat tersebut. Namun, ketika Atha' hendak pergi, Khalifah Abdul Malik memegang tangannya dan bertanya apa yang Atha' butuhkan. Atha' dengan tulus menjawab bahwa dia tidak memiliki kebutuhan kepada makhluk. Khalifah Abdul Malik sangat menghormati Atha' dan menganggapnya sebagai seseorang yang mulia dan berharga.
Atha' bin Abi Rabah hidup hingga usianya melebihi 80 tahun, dan selama hidupnya, dia menjalani kehidupan yang sangat sederhana dan zuhud terhadap dunia. Meskipun memiliki kesempatan untuk mengumpulkan harta, Atha' tetap hidup dalam kesederhanaan. Dia dikenal sebagai sosok yang sangat tekun dalam ibadah, bahkan saat usianya sudah lanjut. Meskipun fisiknya melemah, dia tetap berdiri untuk melakukan salat dengan khusyuk dan mampu membaca dua ratus ayat dari surat Al-Baqarah tanpa bergerak sama sekali.
Atha' bin Abi Rabah meninggal dunia pada tahun 115 H, dalam usia 88 tahun, dan dimakamkan di kota tempat tinggalnya. Semoga Allah memberikan rahmat, ampunan, dan balasan yang baik atas segala amal kebaikan yang telah dilakukan oleh beliau. Aamiin.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 46 vol 04 2017 rubrik Biografi. Pemateri: Al Ustadz Abu Hafy Abdullah.