Raushan DesignShroff TemplatesMafiaXDesign

Beberapa Faedah Dari Kisah Wafatnya Abu Thalib


Beberapa Faedah dari kisah meninggalnya Abu Thalib 

Kisah - Abu Thalib adalah seseorang yang telah banyak berjasa membantu dakwah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun, meskipun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meminta Abu Thalib untuk mengucapkan kalimat "laa ilaaha illallah" di akhir hayatnya, dia tetap enggan untuk melakukannya. Ini adalah kisah singkat tentang sikap Abu Thalib dalam mempertahankan keyakinannya meskipun telah membantu Rasulullah dengan setia.

لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِى أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – لأَبِى طَالِبٍ « يَا عَمِّ ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ » . فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ ، أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ ، وَيَعُودَانِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ ، حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ .


“Ketika Abu Thalib hendak meninggal dunia, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya. Di sisi Abu Thalib ada Abu Jahal bin Hisyam dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Thalib, “Wahai pamanku! Katakanlah ‘laa ilaaha illallah’, suatu kalimat yang dapat aku jadikan sebagai hujjah (argumentasi) untuk membelamu di sisi Allah”. Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah berkata, “Apakah Engkau membenci agama Abdul Muthallib?” Maka Rasulullah terus-menerus mengulang perkataannya tersebut, sampai Abu Thalib akhirnya tidak mau mengucapkannya. Dia tetap berada di atas agama Abdul Muthallib dan enggan untuk mengucapkan ‘laa ilaaha illallah’.” (HR. Bukhari no. 1360 dan Muslim no. 141)

Beberapa faidah yang bisa diambil dari kisah di atas adalah:

Pertama, orang-orang Quraisy menyadari bahwa kalimat tauhid memiliki potensi untuk menggugurkan keyakinan mereka dalam penyembahan berhala. Ini menunjukkan pemahaman mereka bahwa kalimat tauhid adalah lawan dari praktik kemusyrikan yang telah mereka anut. Dengan demikian, jika Abu Thalib akan mengucapkan kalimat tauhid, itu berarti dia telah meninggalkan agama kemusyrikan, dan hal ini menggambarkan betapa pentingnya kalimat tauhid dalam menentang praktik kemusyrikan.


Hal ini juga mencerminkan bagaimana orang-orang musyrik pada masa lalu memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang makna kalimat tauhid daripada banyak orang musyrik saat ini.


Kedua, Abu Jahal bin Hisyam dan 'Abdullah bin Abi Umayyah menggunakan argumen yang sangat meragukan dan tercela kepada Abu Thalib agar dia tidak mengucapkan kalimat tauhid. Argumen ini berdasar pada pertanyaan, "Apakah Engkau membenci agama Abdul Muthallib?" Argumen ini mencerminkan perilaku yang mengikuti jejak nenek moyang mereka yang tercela, yang menolak ajaran agama Islam yang benar, meskipun nenek moyang mereka telah mengikuti agama kemusyrikan yang salah. Allah Ta'ala dalam Al-Quran juga mencatat perilaku serupa dalam ayat yang menyebutkan bahwa mereka mengikuti jejak nenek moyang mereka tanpa berpikir kritis tentang kebenaran agama mereka.


Ini juga mengingatkan pada contoh Fir'aun yang bertanya tentang keadaan umat-umat yang telah lalu, yang menunjukkan bagaimana perilaku mengekor nenek moyang yang salah dalam agama dapat membawa pada ketidakpahaman terhadap kebenaran agama Islam.


Ketiga, kisah ini menggambarkan pengaruh negatif dari pergaulan dengan teman-teman yang buruk. Oleh karena itu, sangat penting untuk waspada dan menjauh dari pergaulan dengan individu yang memiliki potensi membawa dampak buruk dalam kehidupan kita. Abu Thalib menunjukkan enggan mengucapkan kalimat tauhid karena pada saat sakit parah dan menjelang meninggal dunia, dia dikelilingi oleh teman-teman yang buruk.


Keempat, kisah ini menunjukkan bahwa jika seseorang dipastikan meninggal dalam keadaan kafir, maka tidak boleh meminta ampunan (maghfirah) untuk mereka dan tidak boleh mendoakan mereka. Hal ini sesuai dengan ayat Al-Quran yang menegaskan larangan bagi Nabi dan orang-orang beriman untuk meminta ampunan bagi orang-orang musyrik, bahkan jika mereka adalah kerabat, setelah jelas bahwa mereka adalah penghuni neraka jahanam.


Kelima, hal yang dapat dipahami dari kisah ini adalah bahwa status hukum seseorang yang dengan jelas meninggal dalam keadaan kafir adalah kekal di neraka, sesuai dengan firman Allah Ta'ala yang telah disebutkan sebelumnya:


" ... sesudah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam." (QS. At-Taubah [9]: 113)


Keenam, kisah ini mengingatkan bahwa hidayah taufik, atau petunjuk hidup, adalah kuasa Allah Ta'ala semata. Tidak ada yang memiliki kendali atas hidayah ini, bahkan orang yang paling mulia seperti Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memiliki kendali atas hidayah taufik. Bagaimana mungkin seseorang yang kedudukannya di bawah Nabi punya kontrol atas hal tersebut?


Allah Ta'ala menegaskan dalam Al-Quran:


"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (QS. Al-Qashash [28]: 56)


Ketujuh, perlu dicatat bahwa syafaat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Abu Thalib adalah sebuah pengecualian dari ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa syafaat dari pemberi syafaat tidak akan berguna bagi orang-orang kafir. Namun, syafaat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Abu Thalib bukanlah untuk mengeluarkan Abu Thalib dari neraka, melainkan untuk meringankan siksaan di neraka baginya. Hal ini ditegaskan dalam hadits dari Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu 'anhu, di mana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berbicara tentang Abu Thalib dan berharap bahwa syafaatnya mungkin bermanfaat bagi Abu Thalib di hari kiamat, sehingga dia tidak akan ditempatkan di dalam neraka yang dalam, tetapi akan ditempatkan di tempat yang lebih ringan, meskipun masih mengalami siksaan yang parah.


Sumber: Berdasarkan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu 'anhu, HR. Bukhari no. 6564 dan Muslim no. 210. 

Breaking news

Hamba Allah yang membutuhkan ampunan dari Tuhan-Nya

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Become our Fan